Motivasi adalah keadaan internal yang menyebabkan kita bertindak, mendorong kita pada arah tertentu, dan menjaga kita tetap bekerja pada aktivitas tertentu (Elliott dkk, 2000). Motivasi merupakan konstruk psikologi penting yang mempengaruhi pembelajaran dan performa dalam empat cara yaiti : a. Motivasi meningkatkan energi individu dan level aktivitasnya (Pintrich, Marx, & Boyle, 1993) b. Motivasi mengarahkan individu menuju tujuan tertentu ( Eclcles & Wigfield, 1985) c.
Motivasi menaikkan inisiatif dari aktivitas tertentu dan ketekunan dalam aktivitas tersebut (Stipek, 1998) d. Motivasi mempengaruhi strategi pembelajaran dan proses kognitif dari usaha seseorang (Dweck & Elliot, 1983). Aspek lain yang sering dibicarakan adalah mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik atau Motivasi orientasi internal berarti bahwa siswa menunjukkan hasrat untuk belajar tanpa kebutuhan dorongan dari luar dirnya. Apabila respon siswa merujuk pada dorongan dari luar maka dikatakan bahwa ia memiliki motivasi ekstrinsik. Tujuan jangka panjang yang diinginkan oleh kebanyakan orang tua dan pendidik adalah melihat siswa mengembangkan dirinya sehingga memiliki motivasi intrinsik dalam belajar. Ada beberapa perspektif dari motivasi, diantaranya adalah perspektif behavioral. Perspektif ini menekankan tentang pentingnya motivasi ekstrinsik dalam achievement. Menurut perspektif ini, rewards dan punishment eksternal merupakan kunci yang menentukan motivasi siswa. Hal itu disebabkan karena insentif merupakan suatu stimulus atau event baik positif maupun negatif yang dapat memotivasi tingkah laku siswa. Teori-teori motivasi 1. Hierarki Kebutuhan Maslow Konsep paling terkenal dari Abraham Maslow (1987) adalah self-actualization, yang berarti bahwa kita menggunakan kemampuan kita sampai batas akhir potensi kita. Apabila kita dapat meyakinkan siswa bahwa mereka akan dan dapat memenuhi janji mereka, maka saat itu mereka sedang berada pada jalur menuju self actualization. Self actualization merupakan konsep pertumbuhan, siswa bergerak menuju tujuan setelah memenuhi kebutuhan dasarnya. Pertumbuhan menuju self actualization mensyaratkan kepuasan akan hierarki kebutuhan. Lima dasar kebutuhan dalam teori hierarki kebutuhan Maslow adalah : 1. Kebutuhan fisiologis seperti lapar, tidur dan lain-lain. Sebagai contoh, siswa yang tidak sarapan sebelum kegiatan bealjar mengajar sulit untuk berkonsentrasi di kelas. 2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu bebas dari rasa takut dan kecemasan (T) tinggi. 3. Kebutuhan akan rasa cinta dan kepemilikan, merujuk pada kebutuhan akan keluarga dan teman. 4. Kebutuhan akan harga diri, mencakup reaksi orang lain terhadap diri kita sebagai individu dan pandanagn kita terhadap diri sendiri. 5. Kebutuhan akan self actualization 2. Weiner and Attributions About Sucess or Failure. Attributions theory didasarkan pada tiga asumsi dasar (Petri, 1991) yaitu : a. Ability (kemampuan) : Atribusi terhadap kesuksesan dan kegagalan memiliki implikasi penting dalam mengajar sejak asumsi siswa tentang kemampuan mereka berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Ketika siswa memiliki sejarah kegagalan, mereka sering mengasumsikan bahwa mereka memang kurang mampu. Studii Schunk (1989) tentang hubungan antara self efficacy dan pembelajaran, melaporkan bahwa siswa yang memasuki ruangan kelas dengan kemampuan dan pengalaman yang mempengaruhi self-efficacy mereka terhadap initial learning. Ketika berhasil, sense siswa terhadap self-efficacy meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan motivasi. b. Effort (usaha) : Weiner (1990b) menemukan bahwa siswa biasanya tidak mengetahui tentang bagaimana sulitnya mereka berusaha untuk sukses. Siswa mengetahui usaha mereka dengan cara mencari tahu sebaik apa mereka dalam tugas partikular. c. Luck : Siswa yang memiliki kepercayaan yang rendah terhadap atribut kemampuan mereka, mereka akan menganggap kesuksesan sebagai hasil dari keberuntungan. d. Task Difficulty : Biasanya dinilai dariperforma yang lain pada tugas tersebut. Apabila banyak yang berhasil, maka tugas dirasa mudah dan sebaliknya. 3. Operant Conditioning oleh Skinner Merujuk pada B. F. Skinner (1971), tingkah laku dibentuk dan dipelihara oleh konsekuensinya. Konsekuensi dari tingkah laku sebelumnya mempengaruhi siswa. Tidak ada komponen motivasi internal atau motivasi intrinsik secara mayor dalam proses tersebut. Apabila siswa mengumpulkan reinforcement untuk tingkah laku tertentu, mereka cenderung mengulangnya disertai kekuatan. Apabila tidak, siswa cenderung kehilangan minat dan performa mereka memburuk. Hal ini membuktikan bahwa positive reinforcement merupakan jawaban paling tepat. Siswa diberikan reward ketika memberikan respon yang tepat dan tidak dihukum ketika memberikan respon yang tidak tepat. Siswa tersebut akan merasa bebas dan senang ketika berada di dalam dan di luar situasi belajar mengajar karena mereka telah menciptakan pola tingkah laku yan menghasilkan kesuksesan, hubungan yang menyenangkan dengan orang lain, dan hasil yang pantas diterima. Skinner menyatakan bahwa memberitahu siswa bahwa mereka tidak mengetahui sesuatu tidak memberikan motivasi sedikitpun kepada mereka. Sebaliknya, memberikan materi dalam jumlah kecil dengan segera memberikan positive reinforcement kepada mereka. Metode Reinforcement lebih tepat digunakan ketika siswanya mengalami kecemasan tinggi mengenai pembelajaran, motivasi rendah, atau memiliki sejarah kegagalan akademis. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Siswa Beberapa hal yang mempengaruhi motivasi siswa adalah : Kecemasan Kecemasan adalah sensasi tidak menyenangkan yang sering dialami sebagai perasaan kekhawatiran dan iritabilitas umum yang disertai restlessness, fatigue, dan bermacam-macam simptom somatis seperti sakit kepala dan sakit perut (Chess & Hassibi, 1978, p. 241). Sejak perhatian kita secara primer mengacu pada. kecemasan, kita harus menyadari bahwa motivasi intens dan ekstrim yang menghasilkan kecemasan tinggi memiliki efek negatif pada performa. Motivasi sedang merupakan tingkat yang diinginkan dalam mempelajari tugas kompleks. Yorkes-Dodson law adalah prinsip yang menyatakan bahwa motivasi ideal akan menurun secara intens ketika kesulitan tugas meningkat. Rasa keingintahuan (curiousity) dan minat Tingkah laku curious sering digambarkan dengan istilah lain seperti exploratory, manipulative, atau aktif yang kurang lebih memiliki arti yang sama dengan tingkah laku curious itu. Menurut Loewenstein (1994), curiousity adalah hal kognitif berdasarkan emosi yang muncul ketika siswa menyadari bahwa ada diskrepansi atau konflik antara apa yang ia percayai benar tentang dunia dan apa yang sebenarnya terjadi. Minat kurang lebih sama dan berkaitan dengan curiousity. Minat adalah karakteristik yang dipertahankan yang diekspresikan oleh hubungan antara belajar dan aktivitas atau objek partikular (Deci, 1992). 3. Locus of Control Locus of control adalah penyebab dari suatu tingkah laku, beberapa orang mempercayai suatu hal disebabkan oleh sesuatu yang ada dalam diri mereka, ada pula yang mempercayai hal itu akibat sesuatu yang ada di luar diri mereka. Individu yang mengatribusikan penyebab tingkah laku adalah factor-faktor di luar diri mereka disebut individu dengan locus of control external, dan sebaliknya apabila berasal dari dalam diri sendiri disebut locus of control internal . 4. Learned Helplessness Learned helplessness adalah reaksi beberapa individu yang berupa frustasi dan secara mudah menyerah setelah kegagalan yang berulang-ulang (Seligman, 1975). Tiga komponen dari learned helplessness memiliki kegunaan particular untuk kelas yaitu : a. Kegagalan untuk memulai tindakan berarti bahwa siswa yang memiliki pengalaman learned helplessness cenderung untuk tidak mencoba mempelajari materi baru. b. Kegagalan dalam belajar berarti bahwa walaupun arah baru diberikan kepada siswa tersebut, mereka tidak memepelajari apapun dari hal itu. c. Masalah emosional sepertinya menyertai learned helplessness. Frustrasi, depresi dan rasa tidak kompeten muncul secara berkala. Strategi untuk Meningkatkan Motivasi Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi siswa, yaitu: a. menyediakan model yang kompeten yang dapat memotivasi mereka untuk belajar. b. Menciptakan atmosfer yang menantang dan tingkat harapan yang tinggi c. Mengkomunukasikan pada siswa bahwa mereka akan menerima dukungan akademik dan emosional. d. Mendorong motivasi intrinsik siswa untuk belajar e. Bekerja sama dengan siswa untuk membantu mereka menetapkan tujuan dan rencana serta memonitor perkembangannya. f. Menyeleksi tugas-tugas pembelajaran yang merangsang ketertarikan dan keingintahuan siswa. g. Menggunakan teknologi secara efektif. Perbedaan Sosioekonomi Sosioeconomic Status (SES) adalah kedudukan umum social dan ekonomi seseorang dalam masyarakat (meliputi pendapatan keluarga, pekerjaan dan level pendidikan). SES sebuah keluarga (apakah itu SES tinggi, sedang atau rendah) memberikan arti kedudukan mereka dalam masyarakat atau seberapa fleksibel mereka dalam kehidupan dan apa yang mereka beli. Seberapa besar pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan politik, kesempatan pendidikan yang dapat mereka tawarkan pada anak mereka, dan lain-lain. Siswa dengan SES rendah ada bermacam-maca kelompok (Sidel, 1996). Diantaranya ada yang berasal dari keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka (seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal) tapi tidak mempunyai uang untuk bermewah-mewah. Kelompok yang lain bahkan hidup di kehidupan miskin yang sangat ekstrim, dan kelompok ini mempunyai resiko yang lebih untuk mengalami kegagalan akademik dan dalam kebutuhan akan perhatian dan dukungan (support). Ada beberapa faktor yang mungkin berkontribusi dalam prestasi yang rendah dari siswa dengan SES rendah. Siswa yang hanya memiliki 1-2 faktor yang mempengaruhinya masih bisa berprestasi dengan baik di sekolah. Namun siswa yang menghadapi banyak faktor yang mempengaruhi SES-nya mempunyai resiko yang besar untuk mengalami kegagalan akademik. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. poor nutrition. Nutirisi yang buruk dapat mempengaruhi prestasi sekolah baik secara langsung maupun tidak langsung (Byrnes, 2001; Sigman&Whaley, 1998; R. A. Thompson&Nelson, 2001). Pengajar seharusnya dapat mengambil langkah-langkah penting untuk memastikan para siswa tersebut terpenuhi gizinya. Contohnya pengajar harus memastikan bahwa semua siswa bisa mendapatkan makanan bergizi secara murah atau gratis dari program yang telah diselenggarakan oleh sekolah (Ormrod, 2006). 2. inadequate housing (Tempat tinggal yang kurang memadai) 3. emotion stress (Tekanan emosional, seperti depresi, cemas, dll) 4. gaps in background knowledge (jurang perbedaan tentang pengetahuan awal) 5. less parental involvement in school activities and homework (Kurangnya keikutsertaan orangtua dalam aktivitas sekolah dan pekerjaan rumah) 6. lower-quality school (Kualitas sekolah yang rendah), etc.(Omrod, 2006) Penelitian memberikan guru alasan untuk optimis kepada siswa dengan latar belakang pendapatan yang rendah mampu berprestasi tinggi jika guru juga berkomitmen untuk membantu mereka dan memberikan mereka program akademik yang kuat dan mendukung usaha belajar mereka.
Strategi Belajar Elaborasi Strategi belajar elaborasi adalah strategi belajar yang menambahkan ide tambahan berdasarkan apa yang seseorang sudah ketahui sebelumnya (Ormrod, 2006). Elaborasi adalah mengasosiasikan item agar dapat diingat dengan sesuatu yang lain, seperti frase, adegan , pemandangan, tempat, atau cerita (Papalia, 2004). Srategi belajar ini efektif digunakan apabila ide yang ditambahkan sesuai dengan penyimpulan. Implikasi dari strategi belajar ini adalah mendorong siswa untuk menyelami informasi itu sendiri, misalnya untuk menarik kesimpulan dan berspekulasi tentang implikasi yang mungkin. Anak-anak menggunakan prior knowledge-nya sehingga ide baru dapat meluas, dengan demikian dapat menyimpan informasi lebih banyak daripada yang disajikan sebenarnya. Elaborasi jelas membantu siswa belajar dan mengingat materi dalam kelas lebih efektif daripada jika tidak. Anak-anak mulai mengelaborasi pengalamannya sejak awal masa preschool (Fivush, Haden, & Adam, 1995 dalam Ormrod, 2006). Contoh dari penggunaan elaborasi adalah ketika seorang anak berusia 11 tahun mengingat barisan staff musical (E, G, B, D,F) dengan cara mengasosiasikan mereka dengan frase “Every Good Boy Does Fine”.
Motivasi menaikkan inisiatif dari aktivitas tertentu dan ketekunan dalam aktivitas tersebut (Stipek, 1998) d. Motivasi mempengaruhi strategi pembelajaran dan proses kognitif dari usaha seseorang (Dweck & Elliot, 1983). Aspek lain yang sering dibicarakan adalah mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik atau Motivasi orientasi internal berarti bahwa siswa menunjukkan hasrat untuk belajar tanpa kebutuhan dorongan dari luar dirnya. Apabila respon siswa merujuk pada dorongan dari luar maka dikatakan bahwa ia memiliki motivasi ekstrinsik. Tujuan jangka panjang yang diinginkan oleh kebanyakan orang tua dan pendidik adalah melihat siswa mengembangkan dirinya sehingga memiliki motivasi intrinsik dalam belajar. Ada beberapa perspektif dari motivasi, diantaranya adalah perspektif behavioral. Perspektif ini menekankan tentang pentingnya motivasi ekstrinsik dalam achievement. Menurut perspektif ini, rewards dan punishment eksternal merupakan kunci yang menentukan motivasi siswa. Hal itu disebabkan karena insentif merupakan suatu stimulus atau event baik positif maupun negatif yang dapat memotivasi tingkah laku siswa. Teori-teori motivasi 1. Hierarki Kebutuhan Maslow Konsep paling terkenal dari Abraham Maslow (1987) adalah self-actualization, yang berarti bahwa kita menggunakan kemampuan kita sampai batas akhir potensi kita. Apabila kita dapat meyakinkan siswa bahwa mereka akan dan dapat memenuhi janji mereka, maka saat itu mereka sedang berada pada jalur menuju self actualization. Self actualization merupakan konsep pertumbuhan, siswa bergerak menuju tujuan setelah memenuhi kebutuhan dasarnya. Pertumbuhan menuju self actualization mensyaratkan kepuasan akan hierarki kebutuhan. Lima dasar kebutuhan dalam teori hierarki kebutuhan Maslow adalah : 1. Kebutuhan fisiologis seperti lapar, tidur dan lain-lain. Sebagai contoh, siswa yang tidak sarapan sebelum kegiatan bealjar mengajar sulit untuk berkonsentrasi di kelas. 2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu bebas dari rasa takut dan kecemasan (T) tinggi. 3. Kebutuhan akan rasa cinta dan kepemilikan, merujuk pada kebutuhan akan keluarga dan teman. 4. Kebutuhan akan harga diri, mencakup reaksi orang lain terhadap diri kita sebagai individu dan pandanagn kita terhadap diri sendiri. 5. Kebutuhan akan self actualization 2. Weiner and Attributions About Sucess or Failure. Attributions theory didasarkan pada tiga asumsi dasar (Petri, 1991) yaitu : a. Ability (kemampuan) : Atribusi terhadap kesuksesan dan kegagalan memiliki implikasi penting dalam mengajar sejak asumsi siswa tentang kemampuan mereka berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Ketika siswa memiliki sejarah kegagalan, mereka sering mengasumsikan bahwa mereka memang kurang mampu. Studii Schunk (1989) tentang hubungan antara self efficacy dan pembelajaran, melaporkan bahwa siswa yang memasuki ruangan kelas dengan kemampuan dan pengalaman yang mempengaruhi self-efficacy mereka terhadap initial learning. Ketika berhasil, sense siswa terhadap self-efficacy meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan motivasi. b. Effort (usaha) : Weiner (1990b) menemukan bahwa siswa biasanya tidak mengetahui tentang bagaimana sulitnya mereka berusaha untuk sukses. Siswa mengetahui usaha mereka dengan cara mencari tahu sebaik apa mereka dalam tugas partikular. c. Luck : Siswa yang memiliki kepercayaan yang rendah terhadap atribut kemampuan mereka, mereka akan menganggap kesuksesan sebagai hasil dari keberuntungan. d. Task Difficulty : Biasanya dinilai dariperforma yang lain pada tugas tersebut. Apabila banyak yang berhasil, maka tugas dirasa mudah dan sebaliknya. 3. Operant Conditioning oleh Skinner Merujuk pada B. F. Skinner (1971), tingkah laku dibentuk dan dipelihara oleh konsekuensinya. Konsekuensi dari tingkah laku sebelumnya mempengaruhi siswa. Tidak ada komponen motivasi internal atau motivasi intrinsik secara mayor dalam proses tersebut. Apabila siswa mengumpulkan reinforcement untuk tingkah laku tertentu, mereka cenderung mengulangnya disertai kekuatan. Apabila tidak, siswa cenderung kehilangan minat dan performa mereka memburuk. Hal ini membuktikan bahwa positive reinforcement merupakan jawaban paling tepat. Siswa diberikan reward ketika memberikan respon yang tepat dan tidak dihukum ketika memberikan respon yang tidak tepat. Siswa tersebut akan merasa bebas dan senang ketika berada di dalam dan di luar situasi belajar mengajar karena mereka telah menciptakan pola tingkah laku yan menghasilkan kesuksesan, hubungan yang menyenangkan dengan orang lain, dan hasil yang pantas diterima. Skinner menyatakan bahwa memberitahu siswa bahwa mereka tidak mengetahui sesuatu tidak memberikan motivasi sedikitpun kepada mereka. Sebaliknya, memberikan materi dalam jumlah kecil dengan segera memberikan positive reinforcement kepada mereka. Metode Reinforcement lebih tepat digunakan ketika siswanya mengalami kecemasan tinggi mengenai pembelajaran, motivasi rendah, atau memiliki sejarah kegagalan akademis. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Siswa Beberapa hal yang mempengaruhi motivasi siswa adalah : Kecemasan Kecemasan adalah sensasi tidak menyenangkan yang sering dialami sebagai perasaan kekhawatiran dan iritabilitas umum yang disertai restlessness, fatigue, dan bermacam-macam simptom somatis seperti sakit kepala dan sakit perut (Chess & Hassibi, 1978, p. 241). Sejak perhatian kita secara primer mengacu pada. kecemasan, kita harus menyadari bahwa motivasi intens dan ekstrim yang menghasilkan kecemasan tinggi memiliki efek negatif pada performa. Motivasi sedang merupakan tingkat yang diinginkan dalam mempelajari tugas kompleks. Yorkes-Dodson law adalah prinsip yang menyatakan bahwa motivasi ideal akan menurun secara intens ketika kesulitan tugas meningkat. Rasa keingintahuan (curiousity) dan minat Tingkah laku curious sering digambarkan dengan istilah lain seperti exploratory, manipulative, atau aktif yang kurang lebih memiliki arti yang sama dengan tingkah laku curious itu. Menurut Loewenstein (1994), curiousity adalah hal kognitif berdasarkan emosi yang muncul ketika siswa menyadari bahwa ada diskrepansi atau konflik antara apa yang ia percayai benar tentang dunia dan apa yang sebenarnya terjadi. Minat kurang lebih sama dan berkaitan dengan curiousity. Minat adalah karakteristik yang dipertahankan yang diekspresikan oleh hubungan antara belajar dan aktivitas atau objek partikular (Deci, 1992). 3. Locus of Control Locus of control adalah penyebab dari suatu tingkah laku, beberapa orang mempercayai suatu hal disebabkan oleh sesuatu yang ada dalam diri mereka, ada pula yang mempercayai hal itu akibat sesuatu yang ada di luar diri mereka. Individu yang mengatribusikan penyebab tingkah laku adalah factor-faktor di luar diri mereka disebut individu dengan locus of control external, dan sebaliknya apabila berasal dari dalam diri sendiri disebut locus of control internal . 4. Learned Helplessness Learned helplessness adalah reaksi beberapa individu yang berupa frustasi dan secara mudah menyerah setelah kegagalan yang berulang-ulang (Seligman, 1975). Tiga komponen dari learned helplessness memiliki kegunaan particular untuk kelas yaitu : a. Kegagalan untuk memulai tindakan berarti bahwa siswa yang memiliki pengalaman learned helplessness cenderung untuk tidak mencoba mempelajari materi baru. b. Kegagalan dalam belajar berarti bahwa walaupun arah baru diberikan kepada siswa tersebut, mereka tidak memepelajari apapun dari hal itu. c. Masalah emosional sepertinya menyertai learned helplessness. Frustrasi, depresi dan rasa tidak kompeten muncul secara berkala. Strategi untuk Meningkatkan Motivasi Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi siswa, yaitu: a. menyediakan model yang kompeten yang dapat memotivasi mereka untuk belajar. b. Menciptakan atmosfer yang menantang dan tingkat harapan yang tinggi c. Mengkomunukasikan pada siswa bahwa mereka akan menerima dukungan akademik dan emosional. d. Mendorong motivasi intrinsik siswa untuk belajar e. Bekerja sama dengan siswa untuk membantu mereka menetapkan tujuan dan rencana serta memonitor perkembangannya. f. Menyeleksi tugas-tugas pembelajaran yang merangsang ketertarikan dan keingintahuan siswa. g. Menggunakan teknologi secara efektif. Perbedaan Sosioekonomi Sosioeconomic Status (SES) adalah kedudukan umum social dan ekonomi seseorang dalam masyarakat (meliputi pendapatan keluarga, pekerjaan dan level pendidikan). SES sebuah keluarga (apakah itu SES tinggi, sedang atau rendah) memberikan arti kedudukan mereka dalam masyarakat atau seberapa fleksibel mereka dalam kehidupan dan apa yang mereka beli. Seberapa besar pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan politik, kesempatan pendidikan yang dapat mereka tawarkan pada anak mereka, dan lain-lain. Siswa dengan SES rendah ada bermacam-maca kelompok (Sidel, 1996). Diantaranya ada yang berasal dari keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka (seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal) tapi tidak mempunyai uang untuk bermewah-mewah. Kelompok yang lain bahkan hidup di kehidupan miskin yang sangat ekstrim, dan kelompok ini mempunyai resiko yang lebih untuk mengalami kegagalan akademik dan dalam kebutuhan akan perhatian dan dukungan (support). Ada beberapa faktor yang mungkin berkontribusi dalam prestasi yang rendah dari siswa dengan SES rendah. Siswa yang hanya memiliki 1-2 faktor yang mempengaruhinya masih bisa berprestasi dengan baik di sekolah. Namun siswa yang menghadapi banyak faktor yang mempengaruhi SES-nya mempunyai resiko yang besar untuk mengalami kegagalan akademik. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. poor nutrition. Nutirisi yang buruk dapat mempengaruhi prestasi sekolah baik secara langsung maupun tidak langsung (Byrnes, 2001; Sigman&Whaley, 1998; R. A. Thompson&Nelson, 2001). Pengajar seharusnya dapat mengambil langkah-langkah penting untuk memastikan para siswa tersebut terpenuhi gizinya. Contohnya pengajar harus memastikan bahwa semua siswa bisa mendapatkan makanan bergizi secara murah atau gratis dari program yang telah diselenggarakan oleh sekolah (Ormrod, 2006). 2. inadequate housing (Tempat tinggal yang kurang memadai) 3. emotion stress (Tekanan emosional, seperti depresi, cemas, dll) 4. gaps in background knowledge (jurang perbedaan tentang pengetahuan awal) 5. less parental involvement in school activities and homework (Kurangnya keikutsertaan orangtua dalam aktivitas sekolah dan pekerjaan rumah) 6. lower-quality school (Kualitas sekolah yang rendah), etc.(Omrod, 2006) Penelitian memberikan guru alasan untuk optimis kepada siswa dengan latar belakang pendapatan yang rendah mampu berprestasi tinggi jika guru juga berkomitmen untuk membantu mereka dan memberikan mereka program akademik yang kuat dan mendukung usaha belajar mereka.
Strategi Belajar Elaborasi Strategi belajar elaborasi adalah strategi belajar yang menambahkan ide tambahan berdasarkan apa yang seseorang sudah ketahui sebelumnya (Ormrod, 2006). Elaborasi adalah mengasosiasikan item agar dapat diingat dengan sesuatu yang lain, seperti frase, adegan , pemandangan, tempat, atau cerita (Papalia, 2004). Srategi belajar ini efektif digunakan apabila ide yang ditambahkan sesuai dengan penyimpulan. Implikasi dari strategi belajar ini adalah mendorong siswa untuk menyelami informasi itu sendiri, misalnya untuk menarik kesimpulan dan berspekulasi tentang implikasi yang mungkin. Anak-anak menggunakan prior knowledge-nya sehingga ide baru dapat meluas, dengan demikian dapat menyimpan informasi lebih banyak daripada yang disajikan sebenarnya. Elaborasi jelas membantu siswa belajar dan mengingat materi dalam kelas lebih efektif daripada jika tidak. Anak-anak mulai mengelaborasi pengalamannya sejak awal masa preschool (Fivush, Haden, & Adam, 1995 dalam Ormrod, 2006). Contoh dari penggunaan elaborasi adalah ketika seorang anak berusia 11 tahun mengingat barisan staff musical (E, G, B, D,F) dengan cara mengasosiasikan mereka dengan frase “Every Good Boy Does Fine”.
0 komentar
Post a Comment