Translate:English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Lembaga Sekolah Dilihat dari Perspektif Konflik

Diposting oleh Didik Apriyanto | 9:08 PM | | 0 komentar »

Masyarakat Indonesia yang plural baik dari segi etnis, agama, dan ras pada dua tahun terakhir ini di hadapkan pada suatu kondisi disintegrasi. Harmonisasi kehidupan sangat sulit di temukan hampir dalam setiap tataran kehidupan sosial politik dan mungkin juga ekonomi. Saling ancam antar kampung sampai pemeluk agama karena perbedaan ideologi politik, tawuran antar sekolah, adalah sederetan kasus dimana kekerasan sudah menjadi hal yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengantisipasi berulangnya kasus dan peristiwa kekerasan dalam skala yang lebih besar, diperlukan upaya prevensi, yaitu melalui pendidikan di sekolah.


Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik, dalam hal ini siswa, untuk mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka. Perkembangan masyarakat modern menuntut bahwa tugas sebagian tugas pendidikan dijalankan oleh institusi yang disebut sekolah.
Demi kelancaran amanat pendidikan yang diemban oleh sekolah, maka kelancaran proses yang terjadi di dalam sekolah menjadi fokus perhatian banyak kalangan yang mengkaji masalah manajemen sekolah. Salah satu isu yang dibawa adalah terciptanya situasi yang kondusif bagi siswa dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pada titik tertentu, situasi yang kondusif ini menjangkau tema mengenai kedamaian di sekolah, karena kedamaian berkaitan dengan kenyamanan dalam belajar, jaminan akan keamanan dalam beraktifitas di sekolah, kehangatan dalam berinteraksi dengan orang lain serta kebebasan dalam berkreasi dan berkarya, yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan psikologis siswa di sekolah.
Sekolah adalah suatu lembaga yang mempunyai peran strategis terutama mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam memegang estafet generasi sebelumnya. Keberadaan sekolah sebagai sub sistem tatanan kehidupan sosial, menempatkan lembaga sekolah sebagai bagian dari sistem sosial. Sebagai bagian dari sistem dan lembaga sosial, sekolah harus peka dan tanggap dengan harapan dan tuntutan masyarakat sekitarnya. Sekolah diharapkan menjalankan fungsinya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan optimal dan mengamankan diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar.
Mengingat pentingnya masalah kedamaian di sekolah, pada tahun 2000 Majelis Umum PBB mengeluarkan mandat kepada UNESCO untuk menetapkan bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World).
Semenjak ditetapkan, berbagai macam program mulai dilakukan pada berbagai negara yang memusatkan pada pendekatan holistik yang menekankan pada metode partisipatif masyarakat terutama siswa di sekolah. Dimensi-dimensi yang dikembangkan pada program tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).
Pendidikan perdamaian menyentuh pada tiga komponen, yaitu siswa, guru dan orang tua siswa. Ketiga komponen tersebut merupakan pelaku aktif proses penanaman nilai-nilai luhur dalam pendidikan perdamaian. Peran guru adalah sebagai pendidik nilai-nilai dan pengajar ilmu pengetahuan. Siswa adalah generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa yang diharapkan berperan pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai anti kekerasan pada rekan sebaya. Orang tua adalah mitra guru yang mampu mendorong, mendukung dan mengembangkan aktualisasi atau pelaksanaan budaya damai tanpa kekerasan.
Mengingat pentingnya budaya damai dan anti kekerasan, maka diperlukan sebuah langkah konkrit dalam menindaklanjuti kesadaran mengenai pentingnya hal tersebut. Sebelum menentukan langkah yang hendak diaplikasikan, diperlukan pengenalan masalah dan orientasi medan, untuk mengindentifikasi berbagai macam alternatif program yang akan dilakukan. Pada konteks upaya menciptakan budaya damai anti kekerasan di sekolah, identifikasi masalah tersebut diarahkan pada subjek pelaku yang menjadi target program yang hendak diaplikasikan..

0 komentar