Translate:English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Home Schooling, Pendidikan Alternatif Masa Depan

Diposting oleh Didik Apriyanto | 6:27 AM | | 0 komentar »

Oleh : Kak Seto.
Home Schooling (HS) - sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan di rumah - kinisedang ramai dibicarakan orang. Sejumlah media massa, elektronik maupun cetak, juga, telah mempopulerkan sistem pendidikan alternatif yang bertumpu dalam suasana keluarga ini. HS samakin menjadi perhatian dalam dua tahun terakhir ini antara lain sejak begitu banyaknya orangtua merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah (baik negeri, maypun swasta) kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Kemudian banyak anak mereka yang menjadi stres karena sekolah dan kemudian kehilangan kreativitasnya yang alamiah.


Home Schooling
Melihat gambaran penerapan pendidikan semacam di atas, maka muncullah berbagai ide dad para pendidikdan orang tua, bagaimana menciptakan sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan anak. Lalu,muncullah berbagai sekolah alternatif. Misalnya, sekolah alam, yang mengajak anak-anaknya belajar lebih banyak dari alam. Anak-anak di sekolah ini sering berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi obyek pelajaran seperti taman burung, pemandian air panas, kebun binatang dan lain-lain. Tujuannya untuk belajar dan menyaksikan langsung obyek mata pelajarannya.Lalu, muncul sekolah alternatif lain yang membebaskan anak didiknya untuk belajar apa saja sesuai minatnya. Di sekolah ini, tidak ada kelas seperti halnya di sekolah formal. Guru fungsinya hanya membimbing dan mengarahkan minat anak-anak dalarn mata pelajaian yang disukainya. Masih banyak,sekolah alternatif lain yang masing-masing punya metode pelajaran sendiri. Tapi secara umum, sekolahal ternatif ini menjadikan anak didik sebagsi subyek kurikulum, bukan obyek kurikulum. Dengan kata lain,kurikulum itu untuk anak, bukan sebaliknya, anak untuk kurikulum!Dari berbagai alternatif sekolah itu, lalu muncullah home schooling. Secara etimologis, home schooling (HS) adalah sekolah yang diadakan di rumah. Tapi secara hakiki, HS adalah sebuah sekolah alternatif yang menempatkan anak-anak sebagai subyek dengan pendekatan pendidikan secara "at home". Dengan pendekatan at home inilah, anak-anak merasa nyaman belajar karena mereka bisa belajar apa pun sesuai dengan keinginanya, kapan saja dan di mana saja seperti ia tengah berada di rumahnya. Jadi, meski disebut home schoooling, tidak berarti anak akan terus menerus belajar di rumah, tapi anak-anak bisa belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti at home. Maka dalam sistem HS, jam pelajaran bersifat fleksibel, mulai dari bangun tidur sampai
berangkat tidur kembali.Namun demikian, sebagaimana diungkapkan Karl M Bunday dalam Julisannya "Learn in Freedom" – dalam home schooling tidak berarti anak-anak bisa belajar semaunya, melainkan anak-anak harus dilatih untuk bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya sendiri. Seorang anak yang suka belajar matematika danfisika, misalnya, perlu diarahkan agar menguasai pelajaran tersebut sedalam mungkin dan kemudian diarahkan mempelajari ilmu-ilmu modern sesuai dengan teori-teori yang dikuasainya.Begitu pula anak yang menyukai pelajaran seni, olahraga, biologi, dan lain-lain. Itulah sebabnya di Amerika Serikat, sudah banyak dikembangkan kurikulum untuk HS agar sistem pendidikan tersebut memiliki konsep dan visi yang jelas. Orang tua atau guru privat di HS tinggal menyesuaikannya dengan minat masing-masinganak didiknya.
Saat ini di AS ada sekitar 1,8 juta anak yang belajar dengan sistem HS. Pada tahun 2007, misalnya,diperkirakan sudah ada 2,5 juta anak-anak di sana belajar dengan system tersebut. Ini semua terjadi, kata Bunday, karena kecemasan orang tua terhadap masa depan anak-anaknya yang belajar di sekolah formal.Di HS, orang tua yang mengetahui bakat dan hobi anak-anaknya bisa mengarahkan pendidikan mereka dengan jalan mendidiknya sendiri atau menyewa guru-guru yang berkualitas. Dengan banyaknya anak-anakyang belajar di HS, para orang tua pun membentuk network untuk membagi pengalamannya kepada orangtua lain yang mendidik anaknya di HS. Bahkan jika minat anak-anaknya sama, beberapa orang tua membentuk kelompok pendidikan dan mengajak anak-anaknya belajar bersama dengan anak-anak lain yang satu minat. Jadinya mirip seperti sekolah formal dengan beberapa murid - namun esensinya tetaphome schooling. Mereka belajar secara bebas, fleksibel, menyenangkan dan sesuai dengan minatnya. Jika lelah, mereka bisa beristirahat kapan pun. Begitu pula jika ingin belajar, mereka pun bisa belajar kembali dengan senang, kapan pun. Tak ada ketentuan waktu untuk belajar.Barangkali, itulah sebabnya Everett Reimer - seorang pakar pendidikan yang reformis - menyatakan bahwa
sistem sekolahan formal yang kaku kini telah mati. "Kedatangan anak ke sekolah tidak identik dengan belajar," kata Reimer. "Belajar bisa dilakukan di mana saja. Ruang sekolah bisa di kamar tidur, dapur,warung, lapangan olahraga, dan lain-lain," ungkap Reimer dalam tulisannya yang berjudul "School is Dead".
'


Home Schooling di Indonesia
Bagaimana perkembangan HS di Indonesia? Belum ada data pasti berapa jumlah anak-anak yang mengikuti HS di Indonesia. Yang jelas, kini makin banyak orang tua yang berminat menyekolahkan anaknya dengan sistem HS. HS sebagai salah satu elemen pendidikan alternatif sudah terakomodasi dalam system pendidikan nasional. Karena itu HS bisa didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan nonformal dan pesertanya bisa mengikuti ujian kesetaraan Kejar Paket A (setara SD), Kejar Paket B (SMP), dan KejarPaket C (SMU).Sebetulnya bangsa Indonesia sudah lama mengenal HS. Sebelum sistem pendidikan Belanda datang, HS
berkembang di Indonesia. Di pesantren-pesantren, misalnya, banyak para kyai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya. Begitu pula para pendekar dan bangsawan zaman dahulu. Mereka lebih suka mendidik anak-anaknya secara pribadi di rumah atau padepokannya ketimbang mempercayakan pendidikannya kepada orang lain. Mereka melakukan semua itu agar ilmunya bisa diturunkan kepada anaknya, bukan kepada orang lain. Itulah HS di zaman dahulu.
Meski belum sempurna, namun para alumni HS cukup banyak yang menjadi tokoh pergerakan nasional. KHAgus Salim, Ki Hajar Dewantara dan Buya Hamka adalah tiga di antara tokoh-tokoh nasional yang belajardengan sistem HS. Beliau dididik orang tuanya untuk belajar dan mencintai ilmu. Dengan sistem HS yang tepat, akhirnya beliau-beliau pun tumbuh menjadi orang-orang yang mencintai ilmu. Bukan sekedar agarlulus ujian namun kemudian tidak mencintai dan mengembangkan ilmu sama sekali!Sejak tanggal 4 Mei 2006 di Jakarta telah dideklarasikan berdirinya ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumahdan Pendidikan Alternatif ) oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan di Kantor Departemen Pendidikandan Kebudayaan. Pelindungnya adalah Bapak DR Ace Suryadi (Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah) serta penasehatnya antara lain Bapak Prof. DR.Mansyur Ramli (Kepala Balitbang Depdiknas) dan IbuDR.Ella Yulailawati (Direktur Kesetaraan Depdiknas).Melihat kepedulian dan hadirnya para pejabat Depdiknas ikut mengapresiasi lahirnya ASAH PENA, kiranya semakin memperkuat pula keyakinan kita bahwa HS bisa merupakan salah satu alternatif pendidikan dimasa depan serta akan mempercepat tercapainya masyarakat belajar yang sekaligus merupakan cirri masyarakat madani.Semoga.
Jakarta, 18 Juni 2006.
(Makalah Seminar Homeschooling, "Homeschooling? Siapa Takut', Jakarta, 18 Juni 2006 Gedung
Depdiknas, Jakarta; Reproduksi scan ulang oleh http://www.sumardiono.com)

0 komentar